Featured Post

Sakit

July 03, 2014

Catatan mahasiswa Drop Out (2)

Come backSaya jadi berharap hari ini saya Drop Out dari kampus.Saya fikir, saya tidak begitu membutuhkan S1  saya.Jika nanti sahabat saya yang sarjana adalah seorang pecundang. Dan sahabat saya yang putus sekolah adalah seorang kaya raya. Kita tidak akan tau.Saya jadi iri pada mereka yang Drop Out dari sekolahnya, tapi malah lebih berhasil daripada mereka yang pada jaman sekolahnya begitu berhasil, tapi setelah lulus hanya jadi pecundang. Kau tau kenapa?Karna orang yang tidak belajar dalam wadah yang kita sebut sekolah, mereka telah berhasil mengembangkan potensi dirinya secara otodidak. Mereka fokus pada tujuan dan tidak terikat pada 'siksaan' tugas-tugas kuliah, Kkn, sidang, etc,etc. orang yang belajar tanpa menghabiskan biaya di sebuah universitas, justru malah berfikir lebih luas karna tidak dibatasi oleh logika-logika buku dan tekanan keadaaan. Karna yang terpenting adalah semangat belajarnya bukan Dimana Belajarnya.Bill Gates, adalah mehasiswa Drop Out tapi dia bisa menjadi orang terkaya di planet ini. Kau tau kenapa? Itu karna keinginannya untuk belajar, lebih besar ketimbang keinginannya untuk mendapat gelar.Lalu pada akhirnya para sarjana, mengemis pekerjaan pada orang-orang tak beijazah. Kau tau kenapa?Karna orang-orang di universitas menghabiskan waktu untuk belajar mata kuliah dan mengejar nilai. Sedang orang-orang di luar universitas menghabiskan waktunya untuk mengembangkan potensinya, tidak terikat pada nilai, dan tidak perduli pada gelar.Tiga puluh delapan tahun yang lalu, Ivan Illich, seorang pemikir radikal, menulis sebuah buku yang menganjurkan masyarakat dunia untuk mulai melakukan ‘re-sekolah-isasi masyarakat’ (deschooling society). Sekarang, dalam konteks berbeda, kita menyaksikan kembali aktualitas pemikiran Illich, bahwa sekolah bukanlah satu-satunya tempat belajar. Atau, dalam kasus Bu Siami, sekolah bukanlah satu-satunya tempat belajar yang baik.Sekolah telah berubah fungsinya, dari tahun ke tahun, dan lembaga pendidikan yang diharapkan menjadi sarana pembelajaran itu telah berubah fungsi menjadi sarana pemerataan. Jutaan murid yang masuk ke sekolah-sekolah mana pun akan dipaksa untuk mengikuti sistem yang diberlakukan—tanpa mau menyadari bahwa masing-masing manusia adalah makhluk yang berbeda, baik dalam kemampuan maupun latar belakang.Pendidikan, yang merupakan terjemahan Education dalam bahasa Inggris, memiliki akar pada kata Yunani, Educo, yang berarti Mengeluarkan. Artinya, fungsi paling mendasar dari sebuah pendidikan—apa pun bentuknya, termasuk sekolah—adalah ‘mengeluarkan’, yakni mengeluarkan potensi yang ada pada masing-masing anak didik.Tetapi di situlah letak masalah sekolah-sekolah kita selama bertahun-tahun. Sekolah dan sistem yang disebut pendidikan itu bukannya ‘mengeluarkan’ potensi yang dimiliki masing-masing anak didiknya, tetapi malah sibuk ‘memasukkan’ apa saja yang dapat mereka jejalkan ke dalam pikiran anak didik—dari kurikulum, buku bacaan, sistem yang disamaratakan, sampai bentuk ujian yang dinasionalkan.Murid-murid sekolah di zaman sekarang menghadapi sekian banyak tuntutan tak masuk akal untuk alasan ‘pendidikan’—hingga sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi, kesibukan mereka hanya berkutat pada urusan dan tugas sekolah. Begitu banyaknya tekanan sekolah di masa sekarang, hingga seorang anak Sekolah Dasar tidak kalah sibuk dibanding seorang Presiden.Dalam wawancara dengan SCTV pada 7 Februari 1999, Romo Mangun Wijaya menyatakan, “Selama tiga puluh dua tahun, anak-anak dipenjara oleh sistem pendidikan yang diselenggarakan melalui sekolah formal.”Romo Mangun menyatakan hal itu sepuluh tahun yang lalu. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir, sistem pendidikan nasional bukannya makin baik tetapi makin buruk. Terakhir, hal paling memilukan dari tragedi sekolah formal Indonesia adalah sistem ujian nasional, yang seolah-olah dianggap dewa—satu-satunya penentu kelulusan, dan dianggap pintu suci kesuksesan.Ujian nasional adalah tragedi pendidikan Indonesia, karena ujian ini kemudian menjadi akar segala macam masalah, bahkan kejahatan, sebagaimana yang kemudian muncul dalam kasus Bu Siami. Saya percaya bahwa apa yang menimpa Bu Siami hanyalah kasuistis. Artinya, masih banyak kasus lain yang serupa namun tak terungkap ke publik, apa pun alasannya.x