Come
backSaya jadi berharap
hari ini saya Drop Out dari kampus.Saya fikir, saya
tidak begitu membutuhkan S1 saya.Jika nanti sahabat
saya yang sarjana adalah seorang pecundang. Dan sahabat saya yang putus sekolah
adalah seorang kaya raya. Kita tidak akan tau.Saya jadi iri pada
mereka yang Drop Out dari sekolahnya, tapi malah lebih berhasil daripada mereka
yang pada jaman sekolahnya begitu berhasil, tapi setelah lulus hanya jadi
pecundang. Kau tau kenapa?Karna orang yang
tidak belajar dalam wadah yang kita sebut sekolah, mereka telah berhasil
mengembangkan potensi dirinya secara otodidak. Mereka fokus pada tujuan dan
tidak terikat pada 'siksaan' tugas-tugas kuliah, Kkn, sidang, etc,etc. orang
yang belajar tanpa menghabiskan biaya di sebuah universitas, justru malah
berfikir lebih luas karna tidak dibatasi oleh logika-logika buku dan tekanan
keadaaan. Karna yang terpenting adalah semangat belajarnya bukan Dimana
Belajarnya.Bill Gates, adalah
mehasiswa Drop Out tapi dia bisa menjadi orang terkaya di planet ini. Kau tau
kenapa? Itu karna keinginannya untuk belajar, lebih besar ketimbang
keinginannya untuk mendapat gelar.Lalu pada akhirnya
para sarjana, mengemis pekerjaan pada orang-orang tak beijazah. Kau tau kenapa?Karna orang-orang di
universitas menghabiskan waktu untuk belajar mata kuliah dan mengejar nilai.
Sedang orang-orang di luar universitas menghabiskan waktunya untuk
mengembangkan potensinya, tidak terikat pada nilai, dan tidak perduli pada
gelar.Tiga
puluh delapan tahun yang lalu, Ivan Illich, seorang pemikir radikal, menulis
sebuah buku yang menganjurkan masyarakat dunia untuk mulai melakukan
‘re-sekolah-isasi masyarakat’ (deschooling society). Sekarang, dalam konteks
berbeda, kita menyaksikan kembali aktualitas pemikiran Illich, bahwa sekolah
bukanlah satu-satunya tempat belajar. Atau, dalam kasus Bu Siami, sekolah
bukanlah satu-satunya tempat belajar yang baik.Sekolah
telah berubah fungsinya, dari tahun ke tahun, dan lembaga pendidikan yang
diharapkan menjadi sarana pembelajaran itu telah berubah fungsi menjadi sarana
pemerataan. Jutaan murid yang masuk ke sekolah-sekolah mana pun akan dipaksa
untuk mengikuti sistem yang diberlakukan—tanpa mau menyadari bahwa
masing-masing manusia adalah makhluk yang berbeda, baik dalam kemampuan maupun
latar belakang.Pendidikan,
yang merupakan terjemahan Education dalam bahasa Inggris, memiliki akar pada
kata Yunani, Educo, yang berarti Mengeluarkan. Artinya, fungsi paling mendasar
dari sebuah pendidikan—apa pun bentuknya, termasuk sekolah—adalah
‘mengeluarkan’, yakni mengeluarkan potensi yang ada pada masing-masing anak
didik.Tetapi
di situlah letak masalah sekolah-sekolah kita selama bertahun-tahun. Sekolah
dan sistem yang disebut pendidikan itu bukannya ‘mengeluarkan’ potensi yang
dimiliki masing-masing anak didiknya, tetapi malah sibuk ‘memasukkan’ apa saja
yang dapat mereka jejalkan ke dalam pikiran anak didik—dari kurikulum, buku
bacaan, sistem yang disamaratakan, sampai bentuk ujian yang dinasionalkan.Murid-murid
sekolah di zaman sekarang menghadapi sekian banyak tuntutan tak masuk akal
untuk alasan ‘pendidikan’—hingga sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi,
kesibukan mereka hanya berkutat pada urusan dan tugas sekolah. Begitu banyaknya
tekanan sekolah di masa sekarang, hingga seorang anak Sekolah Dasar tidak kalah
sibuk dibanding seorang Presiden.Dalam
wawancara dengan SCTV pada 7 Februari 1999, Romo Mangun Wijaya menyatakan,
“Selama tiga puluh dua tahun, anak-anak dipenjara oleh sistem pendidikan yang
diselenggarakan melalui sekolah formal.”Romo
Mangun menyatakan hal itu sepuluh tahun yang lalu. Tetapi dalam sepuluh tahun
terakhir, sistem pendidikan nasional bukannya makin baik tetapi makin buruk.
Terakhir, hal paling memilukan dari tragedi sekolah formal Indonesia adalah
sistem ujian nasional, yang seolah-olah dianggap dewa—satu-satunya penentu
kelulusan, dan dianggap pintu suci kesuksesan.Ujian
nasional adalah tragedi pendidikan Indonesia, karena ujian ini kemudian menjadi
akar segala macam masalah, bahkan kejahatan, sebagaimana yang kemudian muncul
dalam kasus Bu Siami. Saya percaya bahwa apa yang menimpa Bu Siami hanyalah
kasuistis. Artinya, masih banyak kasus lain yang serupa namun tak terungkap ke
publik, apa pun alasannya.x