Maaf,
ini bukan tulisan saya.
Tapi Saya
sangat menyukai tulisan ini, saya hanya memposting ini. Untuk mengingatkan diri
saya sendiri –karna ini blog yang saya kelola pribadi.
Kepada Tuan Teroris,
Ketika aku menulis surat ini untukmu, aku tidak
tahu siapakah kau, atau dimana alamatmu, bahkan aku pun tidak yakin siapa
namamu. Aku menulis surat ini untukmu sebagai sesama manusia—berdasarkan
kesadaran bahwa aku harus menulisnya. Aku tidak tahu apakah surat ini akan
terbaca olehmu, tetapi aku berharap kau atau siapa pun yang mengenalmu
mendapati surat ini, dan kemudian menyampaikannya kepadamu.
Maafkan aku karena memberanikan diri menulis
surat ini untukmu.
Sesungguhnya, hasrat untuk menulis surat ini
sudah ada dalam benakku sejak lama—sejak pertama kalinya kau atau teman-temanmu
melakukan teror terhadap sesama manusia, hanya demi alasan tertentu yang kalian
yakini. Tetapi, keinginan itu lama kutekan, karena kupikir kau atau
teman-temanmu hanya khilaf sebagai manusia biasa—suatu kekhilafan yang kuyakin
akan kalian sadari suatu hari—meski kekhilafan itu telah merenggut ribuan nyawa
yang tak berdosa.
Tetapi ternyata aku keliru, karena ternyata kau
tidak merasa khilaf. Kau merasa benar, bahkan paling benar, sehingga kau menganggap
orang lain salah semua, hingga layak kaubinasakan. Jadi karena itulah sekarang
aku menulis surat ini untukmu. Yakni karena kau menganggap dan meyakini dirimu
benar, paling benar—bahkan sebagai Sang Kebenaran.
Kepada Tuan Teroris,
Aku menulis surat ini untukmu tidak berdasarkan
kebencian, tetapi karena rasa kasihan. Demi Tuhan, aku kasihan melihatmu. Aku
kasihan melihat kemanusiaanmu direnggut dan diserobot, sehingga membuatmu
menjadi robot tanpa nurani. Aku kasihan melihat ketidaktahuanmu dimanfaatkan
orang lain yang hanya ingin menjadikanmu tumbal bagi ambisinya sendiri. Aku
kasihan melihat kejujuran hatimu disalahgunakan oleh kotornya ambisi orang lain
tanpa kausadari. Aku kasihan kepadamu, kepada kemanusiaanmu, kepada kejujuran
dan keluguan hatimu.
Kau tidak tahu apa-apa atas
perbuatanmu—percayalah kepadaku.
Kalau kau mau mempercayai orang lain yang
memperbudakmu, apa salahnya kalau sekarang kau menyisakan sedikit kepercayaanmu
untukku…? Aku tidak punya motif atau tendensi apa-apa kepadamu, jadi kau tidak
perlu curiga kepadaku. Aku tidak mengenalmu sebagaimana kau tidak mengenalku,
jadi kata-kata ini dapat kaucampakkan… atau kauingat. Beri sedikit waktu untuk
dirimu sendiri, untuk membaca surat ini, dan selebihnya terserah kepadamu.
Kepada Tuan Teroris,
Masih ingat kehidupanmu beberapa waktu yang
lalu—atau bertahun-tahun yang lalu—sebelum kau mengenal orang yang sekarang
mengubahmu? Kau menjalani hidup sebagai orang biasa, tidak dikenal atau tidak
terkenal, tetapi kau hidup dengan kedamaian. Kau mengalami kekurangan tertentu
dalam hidupmu, tetapi itu hal yang wajar, karena begitulah kehidupan. Tetapi,
yang lebih penting di atas semuanya itu, kau tidak menyimpan kebencian kepada
sesamamu, dan kau menjalani hidupmu sebagaimana manusia lain menjalaninya.
Kita sama, kau tahu—kita sama. Kau, aku, juga
manusia-manusia lainnya.
Sampai kau bertemu dengan seseorang—atau
beberapa orang—yang kemudian mengubahmu, dan meracuni pikiranmu. Maafkan
istilahku—tapi bukankah memang begitu…?
Orang itu menepuk sesuatu yang tersembunyi di
dalam dirimu, dan kau merasakan lembutnya tepukan itu, dan kalian kemudian
akrab, dekat… dan kau mulai berubah—tanpa kausadari. Aku bisa merasakan apa
yang kaurasakan waktu itu—kau “kecanduan” kepada orang itu, karena dia dapat
memanjakan egomu, sesuatu yang amat kaurindukan namun tak pernah dapat
kauperoleh.
Apa yang dikatakannya kepadamu…? Bahwa kau
manusia pilihan Tuhan? Titisan malaikat? Keturunan para Nabi? Ksatria
kesayangan alam semesta…? Oh, ayolah, bukankah itu yang ia katakan kepadamu,
yang selalu ia katakan kepadamu…? Dan kau percaya kepadanya, karena tentu saja
kau ingin percaya. Kau ingin percaya bahwa itulah kau—sesosok manusia istimewa
yang tak menyadari keistimewaannya—dan kau pun diam-diam berterima kasih kepada
orang itu karena telah menyadarkan keistimewaanmu.
Kau mulai kecanduan dengannya—kau kecanduan
dengan caranya menyanjungmu, bahkan diam-diam kau pun mulai meyakini dengan
sepenuh hati bahwa kau memang sosok manusia pilihan Tuhan yang mengemban misi
mulia di atas bumi. Kau percaya kepadanya, kau percaya bahwa ada tugas maha
mulia yang telah dibebankan di pundakmu, dan kau bertanggung jawab pada tugas
itu. Dan ketika kepercayaanmu telah terbentuk, orang itu pun mulai mengubahmu
menjadi robot—dan mencerabut nurani dari akar kemanusiaanmu.
Mungkin waktu itu kau berpikir, karena dia telah
menyanjung ego kemanusiaanmu, kau pun merasa berhutang budi kepadanya. Karena
dia telah memberikan sesuatu yang tidak pernah diberikan manusia lain kepadamu,
maka kau pun layak menjadi budaknya.
Kalau kau mau berefleksi sejenak, bukankah
kenyataannya memang seperti itu? Kau hanyalah budak—korban yang sengaja
ditumbalkan orang lain demi ambisi yang tidak kaupahami. Kau tidak tahu
apa-apa, kau hanya mengerjakan sesuatu yang dipaksakan orang lain untuk
kaukerjakan, padahal kau menanggung seluruh konsekuensinya. Dia tidak adil, kau
tahu, dia telah memanipulasimu. Orang yang sekarang kaupatuhi hanyalah pengecut
yang sengaja memanfaatkanmu untuk melakukan sesuatu yang tidak berani ia
kerjakan sendiri.
Kepada Tuan Teroris,
Karena kau berjuang untuk sesuatu yang kausebut
kebenaran, dan karenanya kau rela mati atau mematikan manusia yang lainnya,
maka mari kita bicara soal kebenaran.
Kebenaran siapakah yang sesungguhnya kauyakini…?
Kebenaran yang benar-benar milikmu, ataukah kebenaran versi orang yang
menyatakannya kepadamu? Sebelum bertemu orang itu, kau memiliki versi kebenaran
yang kauyakini sendiri—sama seperti orang-orang yang lainnya. Tetapi, setelah
kau bertemu orang itu dan dia berbicara dengan sepenuh keyakinan kepadamu, kau
pun mulai meninggalkan kebenaran milikmu… dan meyakini kebenaran orang itu.
Kalau kau mau jujur kepada dirimu sendiri,
bukankah seperti itu kenyataannya? Kau tidak meyakini kebenaran, sesungguhnya,
kau hanya meyakini orang itu, beserta segala ucapannya, janji-janjinya,
puja-pujinya. Kau telah dimanipulasi—kau telah diperalat untuk melakukan
sesuatu yang kauyakini sebagai kebenaran, tetapi sesungguhnya hanya kebenaran
yang palsu, yang bahkan tidak kauyakini sendiri.
Sekarang, bayangkanlah jika aku yang datang
kepadamu—waktu itu. Aku melakukan persis seperti apa yang orang itu lakukan
kepadamu—menyanjungmu dengan segala puja-puji dan berusaha memanipulasimu,
menawarkan janji-janji indah tentang negara damai laksana surga, dan
meyakinkanmu bahwa kaulah manusia pilihan Tuhan di muka bumi, apakah kau akan
percaya kepadaku? Jawabannya mutlak, kau akan percaya kepadaku!
See…? Sekarang kita telah melihat
cara permainannya, kan? Sekarang kau telah paham bagaimana permainan manipulasi
yang amat kotor ini dilakukan, dan kau terpedaya oleh permainannya.
Kau hanya tumbal, kau tahu, kau
hanya korban—dan itulah kenapa aku kasihan kepadamu. Orang yang telah
menemuimu, waktu itu, juga menemui banyak orang selain dirimu. Dan, kau tahu,
dia pun menyatakan segala sanjung puja yang ia perdengarkan ke telingamu kepada
orang lain yang ditemuinya, sehingga mereka sama tertipunya seperti dirimu.
Tidakkah kau pernah menyadari kenyataan ini…?
Adolf Hitler melakukan permainan
kotor semacam ini ketika ia mengumpulkan pasukannya. Begitu pula Stalin,
Mussolini, Bokassa, Cun Do Hwan, dan para penjahat kemanusiaan lainnya. Kalau
saja kau mau belajar sejarah, kau akan tahu bahwa orang yang mendatangi dan
merayumu dengan segala sanjung puja serta janji-janjinya tidak lain hanyalah
reinkarnasi Hitler, atau Stalin, atau Mussolini, atau penjahat-penjahat
kemanusiaan lainnya.
Bukan kebenaran yang sesungguhnya
kauperjuangkan—tetapi ambisi busuk seseorang yang telah dipaksakan untuk
kauyakini sebagai kebenaran. Tidak ada kebenaran yang membinasakan, tidak ada
kebenaran yang menganggap jalan kejahatan sebagai cara yang benar. Kalau
seseorang meledakkan kepala ibumu dengan dalih kebenaran, kau tidak akan
mempercayainya, kan?
Kepada Tuan Teroris,
Sebenarnya masih banyak yang ingin
kutulis untukmu, tetapi aku tidak ingin menyita waktumu lebih banyak lagi. Aku
sudah berterima kasih kau mau meluangkan waktumu yang berharga untuk membaca
surat ini, dan aku tidak layak meminta lebih banyak. Aku berharap surat yang
singkat dan mungkin kurang sopan ini sudah cukup menyampaikan apa yang ingin
kusampaikan, juga sudah cukup untuk membuatmu berpikir sejenak—untuk
menggunakan nurani yang dulu kaumiliki.
Mungkin kau tidak percaya kepadaku,
tetapi aku ingin kau tahu bahwa aku selalu percaya kepada kemanusiaan. Satu
orang manusia adalah satu tetes air di lautan. Jika satu tetes air kotor, tidak
berarti seluruh lautan kotor.
Jika kau percaya kebenaran, aku
berdoa semoga kebenaran menemukanmu. Jika kau tak sabar menemukannya, carilah
di dalam dirimu. Kebenaran tidak membutuhkan tempat, kebenaran tidak
membutuhkan pembinasaan manusia lain, kebenaran tidak membutuhkan kekuasaan dan
pengakuan…
Kebenaran itu tidak jauh di luar
sana—ia ada di dekatmu, di dalam nuranimu.