Featured Post

Sakit

June 13, 2013

Untuk mama mungkin aku tidak akan menikah

Saya memiliki seorang ibu yang baik, dia adalah seorang guru yang menjadi panutan bagi anak didiknya. Hanya saja saya dan mama selalu kepentok dengan pandangan hidup yang berbeda. Tidak seperti papa yang demokratis. Mama adalah tipe ibu yang egois. Mungkin tak ada orang yang bisa menentang keinginannya, kalaupun ada pasti itu sangat sulit.

Dulu, ketika baru tamat sma dan jadi pengangguran. Mama sangat sering mengatai saya sebagai anak yang tak punya otak. Saya selalu diam menanggapi itu, jika sedang kesal saya akan menangis ketika mama pergi. Tapi lambat laun, karna sekarang saya sudah jadi pengagguran berpengalaman saya sudah kebal dengan kata-kata itu. Dan rasanya biasa saja jikapun orang lain mengatai saya kata yang sama.

Saya bukannya ingin menjelek-jelekkan mama saya sendiri, karna dibalik semua kejelekannya. Mama adalah orang yang paling kucintai dalam hidupku, dia orang paling berjasa karna telah menghadirkanku ke dunia. Terlebih jika mengingat masa ketika saya sakit cacar dan tipus dulu, ketika tubuh saya sangat lemas tak berdaya. Mama satu satunya orang yang begitu ikhlas merawatku. Mungkin saya akan mati bila tak ada mama yang merawatku ketika itu.
Bahkan air mataku tak pernah terbendung jika aku berbicara tentang mama, mengimat mama, dan semua tentang mama. MAMA!

Lalu sebagai ungkapan hati saya ingin mengatakan hal yang lain lagi yaitu pendapat saya tentang pernikahan. Oh, mungkin balum sejauh itu. Saya berbicara tentang pacaran dulu.

Ya, sejak kecil karna saya terlahir berbeda. Saya sudah berjanji pada diri saya sendiri untuk tidak berpacaran Selama masih sekolah. Saya takut hal itu akan mengganggu fikiran dan kondisi saya.
Hingga keyakinan ini terus tertanam sampai tamat sekolah saya tidak pernah pacaran.

"kak kenapa anak seusiaku sudah berpacaran?" aku tanyakan ini pada kakakku.
Lalu dia menjawab "ya itu karna ada rasa saling tertarik satu sama lain, rasa ingin memiliki dan itu wajar jika dialami anak yang masih puber"

So, saya coba terjemahin kata-kata kakak tentang rasa tertarik pada lawan jenis. Dan ternyata benar saja. Saat puber,saya akhirnya tertarik pada teman sekelas saya namanya agung. Tapi saya merasa tak pernah ingin memilikinya bahkan ketika saya tau agung  juga merasakan hal yang sama.
 (mungkin ini, karna komitmen bodoh yang aku buat sendiri)

 Dan ketika agung sudah berlalu, dia berpacaran dengan sahabat saya dewi. Karna dewi membuka hatinya untuk agung, dan pastinya dewi dan agung sudah merasa sama-sama tertarik.
Saya membiarkan saja agung dan dewi, hingga Pengalaman pertama ini membuat sikap saya selalu dingin kepada laki-laki.

Di saat yang sama, Saya menengok pada lingkungan saya dan saya mempelajari sesuatu bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya jalan untuk hidup bahagia. Saya melihat banyak masalah yang timbul setelah seorang gadis yang dulunya saya kenal periang tiba-tiba berubah setelah ia menikah.
Saya melihat banyak intrik yang hanya akan terjadi dalam dunia pernikahan. Dan segala seluk beluk pernikahan yang rumit membuat saya takut untuk menikah.
Mungkin ada beberapa orang yang sukses setelah mereka menikah, tapi bagaimana dengan orang yang sukses sebelum menikah. Ah, saya tidak perlu membahas ini.

Hanya saja, Apakah menikah harus dilakukan setiap orang ?

Saya rasa jika suatu hari saya menikah, saya adalah istri paling menyedihkan di dunia. Karna selama ini hidup cukup nyaman dengan kedua orang tua. Saya sudah tertempa menjadi pribadi yang berbeda, dan saya menyadari sepenuhnya jika saya terdidik dalam minoritas.
Misalnya saja untuk mengurus diri sendiri. Saya memang bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah, bahkan semua baju orang tua saya, saya yang mengurusnya. Saya juga mahir membereskan setiap petak rumah. Mungkin kelemahan saya, saya adalah seorang wanita yang egois dan tidak bisa memasak.

Saya belum sanggup hidup sebagai seorang istri yang   mengurus suami dan anak-anak, saya belum bisa menjadi wanita seutuhnya karna saya merasa itu tanggung jawab yang besar.
Ditambah jika melihat banyaknya ibu yang gagal menjalani perannya dengan benar. Itu semua membuat saya enggan untuk menikah.
Buat saya memutuskan untuk menikah itu artinya memutuskan untuk merubah kehidupan 180 derajat.
Dan saya menikmati kehidupan saya saat ini, saya belum ingin merubahnya.

Lalu apa hubungannya dengan mama?
Ya, seperti yang saya katakan di atas. Terlepas dari budi baiknya yang telah membesarkan saya selama ini. Di mata saya mama adalah seorang ibu yang gagal.
Karna mama tumbuh sebagai gadis yang dimanja oleh harta. Maka tak heran sampai hari ini mama tak terbiasa hidup susah. Mama tak ingin menjadi orang yang bodoh yang bisa dihina orang lain. Itulah kenapa mama memutuskan untuk menjadi wanita karir dan memilih jalannya sendiri untuk mencapai sukses.
 Sebenarnya ini hal yang positif karna saya harusnya bangga punya mama yang bisa mencari banyak uang. Tapi keputusan mama ini-menurut saya- sekaligus menjadi hal yang membuat mama gagal menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga.
Sanking sibuknya persentase mama ada dirumah selama 1 minggu mungkin hanya sekitar 50jam. Dan waktu 2 hari dalam 7 hari saya rasa tidak pernah cukup bagi seorang ibu meluangkan waktu untuk keluarganya.
Tak jarang mama pulang malam hari dan membiarkan papa melengos tudung saji tanpa ada sedikitpun makanan. Beruntung papa adalah seorang yang sabar dan selalu memahami pekerjaan mama.

Sebagai anak, bukannya saya tak membantu. Jika kesombongan saya keluar, saya akan katakan jika sebagai ibu rumah tangga mama sama sekali tak pernah memegang pekerjaan rumah. Mulai dari hal kecil seperti menyapu sampai mencuci baju, semua itu selalu saya yang mengerjakan. Mama hanya memasak makan malam, itupun mama kadang melupakannya. Kadang saya lelah, tapi saya tak pernah mengatakannya. Karna saya tau orang tua saya hanya manusia biasa, mereka juga sedang lelah.

Jika saya memandang mama yang egois, seketika bayangan ibu gagal menggelayuti pikiranku.
Saya selalu takut jika suatu saat aku akan menjadi ibu yang gagal juga untuk anak-anakku.
Karna saya memang belum siap.

Lalu jika suatu saat -akan datang waktunya- saya dituntut untuk menikah. saya akan kebingungan, bertanya-tanya 'laki-laki mana yang mau menikahi saya'.

Oh ya, saya jadi teringat satu hal  lagi. Yaitu pandangan mama terhadap setiap cowok yang pernah mendekatiku.
Karna belum pernah membawa seorangpun cowok ke rumah. Ketika itu -suatu hari- saya membawa teman saya main kerumah. Dia hanya cowok biasa yang baik hati.
Lalu setelah teman cowok saya itu pulang. Mama membrondongi saya kata-kata agar jangan mau didekati sembarangan cowok, agar memilih cwok yang kaya, bla,bla, bla,..

Well, saya bukan membawa pacar saya. Dia hanya teman baik yang sudah 2tahun bersahabat dengan saya. Tapi melihat tanggapan mama yang begitu lebay. Akhirnya saya jadi malas jika ada lagi teman cwok yang mau main kerumah -apalagi jika mama dirumah-.
Bahkan bukan satu kali, ketika ada seorang tetangga jauh yang dikabarkan 'naksir sama saya' ketika itu mama langsung melarang saya. Padahal saya sama sekali tidak berminat untuk mendekatinya.
'akkk'

Buat mama saya seorang gadis memiliki seorang pacar adalah hal yang tak wajar. Dan itu kadang menjadi alasan kenapa sikapku sedikit tak wajar.

Jika saya melihat mama, selalu muncul pemikiran 'aku tidak akan menikah'
Tapi berbeda jika saya melihat papa. Karna papa adalah seorang yang sangat sabar.
Kadang saya berharap ingin menikah dan mendapat seorang seperti papa, lalu aku memberikan papa seorang cucu yang pasti akan sangat disayanginya.

"salah satu tujuan menikah adalah, mempertahankan keturunan" itu kata papa.