Saya memiliki
seorang ibu yang baik, dia adalah seorang guru yang menjadi panutan bagi anak
didiknya. Hanya saja saya dan mama selalu kepentok dengan pandangan hidup yang
berbeda. Tidak seperti papa yang demokratis. Mama adalah tipe ibu yang egois.
Mungkin tak ada orang yang bisa menentang keinginannya, kalaupun ada pasti itu
sangat sulit.
Dulu, ketika baru
tamat sma dan jadi pengangguran. Mama
sangat sering mengatai saya sebagai anak yang tak punya otak. Saya selalu diam
menanggapi itu, jika sedang kesal saya akan menangis ketika mama pergi. Tapi
lambat laun, karna sekarang saya sudah jadi pengagguran berpengalaman saya
sudah kebal dengan kata-kata itu. Dan rasanya biasa saja jikapun orang lain
mengatai saya kata yang sama.
Saya bukannya ingin
menjelek-jelekkan mama saya sendiri, karna dibalik semua kejelekannya. Mama
adalah orang yang paling kucintai dalam hidupku, dia orang paling berjasa karna
telah menghadirkanku ke dunia. Terlebih jika mengingat masa ketika saya sakit cacar
dan tipus dulu, ketika tubuh saya sangat lemas tak berdaya. Mama satu satunya
orang yang begitu ikhlas merawatku. Mungkin saya akan mati bila tak ada mama
yang merawatku ketika itu.
Bahkan air mataku
tak pernah terbendung jika aku berbicara tentang mama, mengimat mama, dan semua
tentang mama. MAMA!
Lalu sebagai
ungkapan hati saya ingin mengatakan hal yang lain lagi yaitu pendapat saya
tentang pernikahan. Oh, mungkin balum sejauh itu. Saya berbicara tentang
pacaran dulu.
Ya, sejak kecil
karna saya terlahir berbeda. Saya sudah
berjanji pada diri saya sendiri untuk tidak
berpacaran Selama masih sekolah. Saya takut hal itu akan mengganggu
fikiran dan kondisi saya.
Hingga keyakinan ini
terus tertanam sampai tamat sekolah saya tidak pernah pacaran.
"kak kenapa
anak seusiaku sudah berpacaran?" aku tanyakan ini pada kakakku.
Lalu dia menjawab
"ya itu karna ada rasa saling tertarik satu sama lain, rasa ingin memiliki
dan itu wajar jika dialami anak yang masih puber"
So, saya coba
terjemahin kata-kata kakak tentang rasa tertarik pada lawan jenis. Dan ternyata
benar saja. Saat puber,saya akhirnya tertarik pada teman sekelas saya namanya
agung. Tapi saya merasa tak pernah ingin memilikinya bahkan ketika saya tau
agung juga merasakan hal yang sama.
(mungkin ini, karna komitmen bodoh yang aku
buat sendiri)
Dan ketika agung sudah berlalu, dia berpacaran
dengan sahabat saya dewi. Karna dewi membuka hatinya untuk agung, dan pastinya
dewi dan agung sudah merasa sama-sama tertarik.
Saya membiarkan saja
agung dan dewi, hingga Pengalaman pertama ini membuat sikap saya selalu dingin
kepada laki-laki.
Di saat yang sama,
Saya menengok pada lingkungan saya dan saya mempelajari sesuatu bahwa
pernikahan bukanlah satu-satunya jalan untuk hidup bahagia. Saya melihat banyak
masalah yang timbul setelah seorang gadis yang dulunya saya kenal periang
tiba-tiba berubah setelah ia menikah.
Saya melihat banyak
intrik yang hanya akan terjadi dalam dunia pernikahan. Dan segala seluk beluk
pernikahan yang rumit membuat saya takut untuk menikah.
Mungkin ada beberapa
orang yang sukses setelah mereka menikah, tapi bagaimana dengan orang yang
sukses sebelum menikah. Ah, saya tidak perlu membahas ini.
Hanya saja, Apakah
menikah harus dilakukan setiap orang ?
Saya rasa jika suatu
hari saya menikah, saya adalah istri paling menyedihkan di dunia. Karna selama
ini hidup cukup nyaman dengan kedua orang tua. Saya sudah tertempa menjadi
pribadi yang berbeda, dan saya menyadari sepenuhnya jika saya terdidik dalam minoritas.
Misalnya saja untuk
mengurus diri sendiri. Saya memang bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah,
bahkan semua baju orang tua saya, saya yang mengurusnya. Saya juga mahir
membereskan setiap petak rumah. Mungkin kelemahan saya, saya adalah seorang
wanita yang egois dan tidak bisa memasak.
Saya belum sanggup
hidup sebagai seorang istri yang
mengurus suami dan anak-anak, saya belum bisa menjadi wanita seutuhnya
karna saya merasa itu tanggung jawab yang besar.
Ditambah jika
melihat banyaknya ibu yang gagal menjalani perannya dengan benar. Itu semua
membuat saya enggan untuk menikah.
Buat saya memutuskan
untuk menikah itu artinya memutuskan untuk merubah kehidupan 180 derajat.
Dan saya menikmati
kehidupan saya saat ini, saya belum ingin merubahnya.
Lalu apa hubungannya
dengan mama?
Ya, seperti yang
saya katakan di atas. Terlepas dari budi baiknya yang telah membesarkan saya
selama ini. Di mata saya mama adalah seorang ibu yang gagal.
Karna mama tumbuh
sebagai gadis yang dimanja oleh harta. Maka tak heran sampai hari ini mama tak
terbiasa hidup susah. Mama tak ingin menjadi orang yang bodoh yang bisa dihina
orang lain. Itulah kenapa mama memutuskan untuk menjadi wanita karir dan memilih
jalannya sendiri untuk mencapai sukses.
Sebenarnya ini hal yang positif karna saya
harusnya bangga punya mama yang bisa mencari banyak uang. Tapi keputusan mama
ini-menurut saya- sekaligus menjadi hal yang membuat mama gagal menjalani
perannya sebagai ibu rumah tangga.
Sanking sibuknya
persentase mama ada dirumah selama 1 minggu mungkin hanya sekitar 50jam. Dan
waktu 2 hari dalam 7 hari saya rasa tidak pernah cukup bagi seorang ibu
meluangkan waktu untuk keluarganya.
Tak jarang mama
pulang malam hari dan membiarkan papa melengos tudung saji tanpa ada sedikitpun
makanan. Beruntung papa adalah seorang yang sabar dan selalu memahami pekerjaan
mama.
Sebagai anak,
bukannya saya tak membantu. Jika kesombongan saya keluar, saya akan katakan
jika sebagai ibu rumah tangga mama sama sekali tak pernah memegang pekerjaan
rumah. Mulai dari hal kecil seperti menyapu sampai mencuci baju, semua itu
selalu saya yang mengerjakan. Mama hanya memasak makan malam, itupun mama
kadang melupakannya. Kadang saya lelah, tapi saya tak pernah mengatakannya.
Karna saya tau orang tua saya hanya manusia biasa, mereka juga sedang lelah.
Jika saya memandang
mama yang egois, seketika bayangan ibu gagal menggelayuti pikiranku.
Saya selalu takut
jika suatu saat aku akan menjadi ibu yang gagal juga untuk anak-anakku.
Karna saya memang
belum siap.
Lalu jika suatu saat
-akan datang waktunya- saya dituntut untuk menikah. saya akan kebingungan,
bertanya-tanya 'laki-laki mana yang mau menikahi saya'.
Oh ya, saya jadi
teringat satu hal lagi. Yaitu pandangan
mama terhadap setiap cowok yang pernah mendekatiku.
Karna belum pernah
membawa seorangpun cowok ke rumah. Ketika itu -suatu hari- saya membawa teman
saya main kerumah. Dia hanya cowok biasa yang baik hati.
Lalu setelah teman
cowok saya itu pulang. Mama membrondongi saya kata-kata agar jangan mau
didekati sembarangan cowok, agar memilih cwok yang kaya, bla,bla, bla,..
Well, saya bukan
membawa pacar saya. Dia hanya teman baik yang sudah 2tahun bersahabat dengan
saya. Tapi melihat tanggapan mama yang begitu lebay. Akhirnya saya jadi malas
jika ada lagi teman cwok yang mau main kerumah -apalagi jika mama dirumah-.
Bahkan bukan satu
kali, ketika ada seorang tetangga jauh yang dikabarkan 'naksir sama saya'
ketika itu mama langsung melarang saya. Padahal saya sama sekali tidak berminat
untuk mendekatinya.
'akkk'
Buat mama saya
seorang gadis memiliki seorang pacar adalah hal yang tak wajar. Dan itu kadang
menjadi alasan kenapa sikapku sedikit tak wajar.
Jika saya melihat
mama, selalu muncul pemikiran 'aku tidak akan menikah'
Tapi berbeda jika
saya melihat papa. Karna papa adalah seorang yang sangat sabar.
Kadang saya berharap
ingin menikah dan mendapat seorang seperti papa, lalu aku memberikan papa
seorang cucu yang pasti akan sangat disayanginya.
"salah satu
tujuan menikah adalah, mempertahankan keturunan" itu kata papa.