Aku fikir hari ini bisa menikmati ‘me time’ karna pagi-pagi suami bawa anakku main keluar. Ternyata, saat kerjaan rumah selesai, aku tak kunjung punya ‘me time’.
Sebuah berita kampret tiba-tiba menyapaku. Waktu main kerumah saudara suamiku.
ya, mereka semua ada di sana, wawak, oncu ati, oncu irep, kak tina, kak adel dan mereka semua para pecahan botol, haha
Entah kenapa aku tak bisa menghilangkan kenangan di hari pernikahan kami, saat tak satupun anggota keluarga suamiku yang memperlakukanku dengan ‘layak’sebagai putri dari keluarga baik-baik yang tengah menjalani hari bahagia.
tapi tak apalah, mereka kan juga punya anak perempuan. Kita tunggu waktu membuat anak-anak perempuan mereka “DIHARGAI” oleh keluarga orang lain juga.
Seorang kakak yang tadinya kufikir punya hati semahal emas, ternyata tak lebih dari sekedar bongkahan batu sungai biasa.
Yang selama ini kulihat santai-santai saja ternyata juga menyimpan kata-kata monohok ketika disampaikannya.
Tempat tinggalku sekarang, yang kata suamiku adalah rumah miliknya, ternyata adalah rumah sengketa keluarga juga.
Ya, sebentar lagi kakaknya yang baru saja melahirkan bayi, akan tinggal dirumah ini juga.
tanpa merasa sedikitpun serakah akan harta, aku keberatan. Karna selain membawa seorang bayi baru lahir. Ada 2 orang anak lagi yang juga akan tinggal disini. Aku yang hanya bersama satu anak saja, tak pernah punya ‘me time’. Bagaimana kalau harus ketambahan kampret-kampret itu lagi.
membayangkannya saja sudah membagongkan bagiku. Karna kufikir, kalau aku mau menyelamatkan orang lain –mau menolong orang lain- setidaknya aku harus menyelamatkan diri sendiri dulu –menolong diri sendiri dulu-.
Aku sedang punya rencana, mau buat donat, belajar bikin kue untuk dijual. Biar ada uang masuk, dan ada sampingan lain selain mengharapkan gaji suami. Dan juga aku mulai kepikiran untuk beli mobil, mulai menghemat dari sekarang.
Tapi jika keluarga kecilku diganggu pihak ketiga, impian itu mungkin akan sulit terealisasi.
Ahh.. aku hanya ingin hidup tenang tanpa diganggu, apakah sesusah itu.
Maafkan aku suamiku, tapi keluarga besarmu, di mataku terlalu sulit dicerna akal.
Dan keluarga intimu –tanpa maksud merendahkan- mereka sama sepertimu, kurang pendidikan, dan ilmu pengetahuan.
Hingga etika bicara tak ada, pemikiran untuk berkembang pun tak ada juga.
Mohon maaf, tapi itulah kenyataannya. Aku sedang berada di sekeliling orang yang tuli telinganya, buta matanya dan lumpuh otaknya untuk terus belajar, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka hanya mengikuti insting hewaniahnya saja.
Ya, Semoga aku tetap bisa menjaga kewarasanku, dan semoga anakku menjadi satu-satunya yang bisa mengangkat derajat keluarga dan orang tuanya, AMIN