Salah satu keputusan paling gegabah dalam hidupku adalah, buru-buru menikah begitu bertemu seorang laki-laki asing yang belum kukenal betul wataknya.
Waktu itu, aku terjerat bujuk rayu maut dari laki-laki itu. Yang menjanjikan seluruh dunia dan Akhirat untukku. Padahal sebutir kerikil pun tak bisa dia berikan.
Ditambah dorongan dari seluruh keluarga karna usiaku sudah menginjak 27tahun.
“bukan ma, aku bukan mau menikah karna usia, biarkan saja aku menua, yang penting bahagia” begitulah bantahanku pada mama.
Dan dibalas dengan sumpah serapah, “yasudah jika tidak menikah juga, kau akan mati dalam keadaan perawan tua, jika mamamu mati kau akan menyesal, karna belum bisa kasih cucu”.
Akupun lari kekamar dan menangis mendengar kata-kata mama.
ingin rasanya lari dari rumah dan pergi menggelandang entah kemana. Tapi rasa sayangku pada papa seolah mengunci kakiku untuk terus bertahan tinggal dirumah brengsek ini.
--
“kau akan kujadikan wanita paling bahagia di dunia ini” begitulah janjimu yang kau ucapkan, sembari bertekuk lutut dihadapanku.
“tapi aku tak bisa masak” begitulah sanggahanku yang terdengar tak nyambung, tapi itulah kata yang terlontar begitu melihat kau berlutut.
“tak apa dek, abang akan makan apapun yang kau masak”
“kalau tak enak”
“semua yang adek masak pasti enak, apalagi masaknya pakai cinta”
Haha, begitulah salah satu usahamu merayuku. Meski hati kecil ini menolak, dan tetap yakin makanan yang kumasak kalau tak enak tetap akan tak enak. Tapi sedikit demi sedikit hati ini melemah pada semua rayuan dan janji manismu.
Sampai akhirnya kitapun menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan.
--
Aku ingat semuanya, aku ingat setiap detik yang terjadi.
Tak seharipun terlewat tanpa ada kata kotor yang terlontar dari mulutmu.
Nyatanya, kebahagiaanku setelah menikah hanya bertahan setahun.
watak, tutur kata, dan kebiasaanmu, satu demi satu terbuka. Tak ada lagi yang tertutupi, semua keburukanmu sudah terlihat.
Kata-kata yang dulunya merayu “ingin membuatku bahagia”. Nyatanya hanya lawan kata dari “ingin membuatku menderita”.
Hari demi hari kulalui dalam luka dan derita.
memang kau tak pernah memukul atau melukai secara fisik. Tapi jiwa dan batinku, tersiksa setiap saat oleh hinaan dan kata-katamu.
Kadang ingin rasanya keluar dan kembali menggelandang entah kemana. Tapi rasa kasih sayang pada anakku membuatku enggan melakukannya.
Anakku butuh tempat tinggal, butuh keluarga yang utuh dan kasih sayang dari dua sisi.
Bukan soal semudah, kita berpisah dan pergi. Tapi ini soal masa depan dan mental penuhkasih yang harus dicurahkan pada jiwa seorang anak.
Meskipun begitu, aku tetap memandangmu dari sisi yang lain. Sisi postur badan tegapmu, pekerja keras dan juga bertanggung jawab.
Kalaupun ada sesuatu yang akan mengubahku, semuanya adalah
berkat diriku sendiri. Akibat dari diriku sendiri, bukan karna kau dan orang
lain.
Karna saat aku ada disini sekarang, dan menuliskan kata-kata ini. Semua juga
karna pilihanku, bukan pilihan orang lain.