Kabar itu menabrakku jam 2.15 pagi. Saat dering telfon tanpa nama berbunyi di ponselku.
Awalnya kukira orang iseng, tapi aku coba mengangkatnya dan ternyata itu dari kakakku.
Suaranya yang pelan mengabarkan di ujung telfon. Bahwa mbah Pon udah gak ada, Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.
Mbah pon adalah Kakek terakhir yang kupunya, akhirnya pergi untuk selamanya.
Menyusul kakek kandungku yang entah kenapa tadi malam kuceritakan kenangan bersamanya sebelum tidur pada suamiku.
Kakek Poniman biasa kupanggil mbah pon.
Setelah sakitnya yang singkat, yang membuat bobot tubuhnya turun drastis.
-Mungkin semua sanak saudara sudah mulai 'mempersiapkan diri' sejak mbah pon sakit dan tak mau makan.
Bagiku mbah pon adalah kakek terbaik yang penuh kasih sayang.
Beliau juga yang menjadi saksi Nikah kami di depan tuan kadi dan wali.
Even, ketika Rumah tanggaku sedang diujung tanduk, mbah juga yang bersedia jadi saksi untuk perubahan suami.
Berkatnya, rumah tangga kami bersatu kembali.
Nasehatnya yang singkat dan penuh makna, aku tak akan melupakannya.
Di tanggal 18 Agustus, adalah hari aku datang menjenguk mbah pon yang sakit.
Air mataku tak bisa terbendung kala melihat kondisinya yang sangat jauh berbeda saat itu.
Aku hanya bisa memegang erat tangannya, lalu membelai pipinya.
Dalam hatiku berkata, "inilah Mbah pon yang terkenal sebagai ustad di kampung kami.
mbah kebanggangganku, mbah kesayanganku. kondisinya sudah mulai kembali seperti bayi.
Kecil, bersih, butuh dimandikan, butuh disuapin dan tak bisa apa-apa. Mbah sedang membersihkan diri dari dosa.
mempersiapkan dirinya kembali pada Rahmat Allah dalam keadaan sama suci, seperti baru lahir."
Tidak ada yang menjamin, siapapun akan masuk surga. Tapi untuk mbah pon.
Allah pasti menjadikannya salah satu hamba yang Ia sayangi.
Mengampuni semua dosanya, dan menempatkannya dalam tempat terbaik.
Aku sendiri berpikir ulang untuk datang bertakziah ke rumah mbah pon.
Meskipun itu sebuah hak muslim atas muslim yang lain, menghadiri rumah orang meninggal.
Tapi bayangan soal kondisi di kampung sana, dan kabar terakhir yang kudengar soal keluargaku yang masih berhutang pada istri mbah pon.
Membuatku mengurungkan niat.
Sungguh parah memang, di saat terakhirnya mbah berada di dunia, aku malah memilih untuk tidak datang.
Tapi lebih dari itu, yang mbah butuhkan adalah Doa, bukan kehadiranku disana.
karna kufikir, terlalu banyak kesedihan dan duka hati, setiap kali kakiku menginjakkan diri di tempat itu.
Rumah nenek, Kios Fotocopy, Sekolah dan tempat-tempat jajanannya. Aku masih terlalu sakit mengenang semua itu.