Aku hampir lupa, ternyata laki-laki tua bangka itu bukan siapa-siapa. Hanya seorang laki2 yang dinikahi ibuku untuk dimanfaatkan hartanya.
Aku hanya acuh dan diam. Ditambah janji-janji palsunya padaku, membuatku kian acuh padanya.
Tangannya gemetaran setiap kali melakukan sesuatu. Menandakan bahwa usianya yang uzur mulai mengambil kekuatan di raganya. Jika saja lansia itu adalah bapak kandung yang kucintai sejak aku kecil, aku pasti sangat simpati dan memandangnya dengan seluruh keprihatinan hati, karena sosok itu akhirnya menua juga.
Tapi karna tua bangka itu bukan siapa-siapa, yang aku baru tau keberadaannya di muka bumi ini hanya setengah tahun belakangan. Maka aku tidak bisa menganggap bahwa dirinya adalah –siapa-siapa. Karena memang bagiku dia bukan siapa-siapa.
Di usianya yang senja, sungguh sebuah kesialan tua bangka itu menikahi wanita ‘picik’ seperti ibu. Tapi setelah kubayangkan kenapa mereka bisa menikah, ternyata beliau ini juga sama piciknya.
Di usia setua itu yang ada difikirannya hanya Harta, Tanah,
dan Benda-benda.
Sesuatu yang pastinya tidak mungkin dibawa mati.
Satu-satunya hal yang akan dibawanya mati hanyalah amal ibadah, yang syukurnya masih dijalankan dengan sepenuh kesadarannya saat ini.
Mungkin. Satu2ny hal positif dari hidupnya adalah ibadahnya pada Allah itu.
Semoga Tuhan mengampuniku.