Aku semakin menjauh, dari Ayah, Ibu dan kedua saudara kandungku. Bukan karna jarak yang memisah. Tapi karna pola fikir yang berubah. Suamiku, dia bukan orang berpendidikan. Malah bisa dibilang buta ilmu dan etika. Tapi naluri telah membesarkan dan membentuk pola pikirnya. Aku yakin, suamiku orang berhati baik. Tidak berkata bohong, dan melakukan segalanya apa adanya. Tapi otaknya telah berpasir dan menumpuk debu tebal. Tidak bisa ditimpa dengan air jernih, atau tanah humus. Hanya bisa dibersihkan pelan2, sampai debu tebal itu mengikis dan lenyap. Aku jadi benci ibu kandungku, karna dia berkata bohong dan sombong. Aku jadi kecewa ayahku karna dia tak bisa mendikte ibuku ‘sejak awal’ menjadi wanita lurus, dan karna dia bersikap memuakkan di hari paling bahagia, satu-satunya di hidupku. Juga adikku yang sok, dan bertingkah seolah tinggi,padahal kosong tak berisi. Masih lumayan kakakku, ada kesamaan isi sebagai istri dan ibu. Tapi itupun jadi menyebalkan karna ipar yang kayak tai. Entah siapa yang harusnya kudekati.keluarga inti menjadi tak ada berarti, sang suami juga bertingkah selalu sesuka hati. Rakus, dan tamak, dan menjijikkan,memuakkan, dunia ohh dunia. Satu-satunya penghibur hati, hanyalah putri manis yang suci milikku ini. Almira Micher Rambe..