Mereka adalah orang yang banyak duit, memiliki sepasang anak, sepasang menantu dan 3 cucu.
Dengan segudang aset yang tampak di depan mata, seperti rumah bagus, ruko empat
pintu, dua mobil mewah, perkebunan, tanah dan ternak.
Mereka adalah tetanggaku sejak bertahun-tahun. Bahkan sudah mendirikan rumah
disana sebelum kedua orang tuaku membeli rumah yang kami tempati sekarang.
Istrinya sorang Pegawai negri di kantor camat yang baru saja
pensiun, suaminya pengusaha apa saja.
Kebiasaan hidupnya terkesan hemat, meski begitu sangat dermawan terhadap orang
lain, khususnya tetangga.
Awalnya rumah mereka memiliki taman yang luas yang langsung menghubungkan ke jalan raya. Tapi beberapa tahun terakhir dibangun sebuah ruko yang menutupi sekeliling halaman depan rumah itu.
Alih-alih menutup diri, segala aktifitas di depan rumah mereka beralih ke pintu belakang. Yang tadinya jika ada tamu ataupun pembeli yang ingin berurusan dengan mereka memanggil dari pintu depan, berubah ke pintu belakang.
Kebetulan halaman belakang mereka, adalah halaman yang langsung terhubung saat aku membuka pintu depan rumahku.
Mereka bukan orang sombong, tapi entah kenapa sulit sekali
menyapa mereka. Terlihat ada perbedaan status sosial disana.
Seminimal mungkin aku selalu berusaha untuk tidak berinteraksi dengan mereka.
Tapi aktifitas mereka yang dari pagi sampai malam selalu di halaman belakang, dan selalu dicari orang-orang –yang berkeperluan- lewat pintu belakang, membuatku enggan keluar rumah karna terkadang akan menjadi perhatian bagi mereka.
Sebenarnya tak masalah sama sekali kalau aku cuek, tapi jika mereka menatapku seolah mereka sedang kepo dan mencar tau sesuatu, aku tidak nyaman saja.
Meskipun pengakuan si ibu jika mereka punya hutang –dibalik semua aset yang dimiliki- tapi yang terlihat dimataku mereka tidak pernah terlihat kesusahan.
Tapi apa yang terlihat di mata kita, terkadang belum tentu sesuai dengan kesulitan apa sebenarnya yang sedang mereka hadapi.
>,<