CINTAMU membusuk dua purnama, sebab
menunggumu tanpa ikatan hanya menjadikanku seorang pesakitan
Berulang kali aku berujar; “Menikahlah
denganku,” tetapi jawabmu tunggu hingga siap lahir-batin untuk sementara ini
cukuplah pacaran
Semula aku mengangguk sepenuh takzim
dengan satu alasan purba bahwa aku terlanjur mencintaimu
Hingga pada akhirnya kusadari kerdil
sekali kelelakianmu yang mengikat langkahku menemu jodoh terbaik hanya dengan
pacaran
Ini memang kebodohanku, terlalu bodoh
diperdaya bujuk rayumu yang menyamakan pacaran dengan pernikahan sehingga harus
kutebus dengan kesetiaan
Padahal banyak lelaki yang mendekatiku,
berniat menikahiku dan memantaskan diri untuk bersanding denganku, namun semua
kuabaikan karena aku selalu terjebak pada perasaan
Perasaan bersalah jika aku memilih lelaki
lain untuk jadi pendamping hidupku sedangkan saat ini aku masih menjadi pacarmu
Dua Purnama Menunggu
Aku sudah lelah jadi perempuan dungu;
menunggu untuk sesuatu yang tak pasti, sebab tiap kali kutanya perihal
pernikahan, kau selalu cari alasan
Jika memang mencintaiku tak ada alasan
membuatku harus menunggu dua purnama untuk menghalalkanku menjadi pendamping
hidupmu
Pikirkanlah itu, bukankah lelaki diberi
kelebihan akal sedangkan wanita memiliki kelebihan rasa tetapi aku merasa
dirimu hanya menggunakan akal bulusmu untuk membodohiku — sungguh engkau salah
kaprah memanfaatkan kelebihan akalmu
Membodohi orang yang kau cintai dengan
alasan yang tidak masuk akal apalagi menyangkut kesiapan lahir dan batin tanpa
konsep yang jelas itu jelas tindakan terstruktur, masif dan terencana
Terstruktur bahwa hanya dengan modal
kata-kata kau mampu mengikatku untuk setia, masif karena gerakan gencarmu
meyakinkanku lewat kata-kata begitu luar biasa, terencana sebab aku seolah
cadangan yang siap pakai untuk berbagi keluh kesah meski belum menjadi istri
yang sah secara agama
Aku mau bertanya yang dikatakan siap
lahir-batin itu seperti apa? punya rumah mewah, harta berlimpah, dirimu jadi
pejabat, atau seperti apa? jadi jelas aku harus bersikap apa
Jika saat ini dirimu masih pengangguran
maka menunggumu jadi konglomerat serupa mengharap seribu candi dibangun dalam
satu malam, dan apakah itu mungkin sedangkan dirimu cari kerja sama masih belum
becus, uang masih minta dari orang tua
Jika alasanmu belum punya modal nikah,
coba pikirkanlah selama kita menjalin hubungan berapa kali dalam satu Minggu
dirimu menelponku, lebih dari tiga kali jika dihitung itu berkisar sepuluh ribu
rupiah, jika dikalikan sekian tahun kita pacaran, maka sudah lebih dari cukup
untuk jadi mahar, lalu kerap juga dirimu mentraktirku makan, satu porsi
sekurang-kurangnya lima belas ribu, kalikan sekian ratus kali dirimu
mentraktirku maka cukup untuk undang penghulu, belum lagi uang bensinmu lalu
kado ulang tahun yang kerap kau berikan padaku, apakah ini tidak lebih dari
cukup untuk melamar dan menikahiku
Sudahlah; jangan bohongi aku lagi, aku
sudah lelah, katakan saja target siap lahir-batinmu kapan; satu tahun, dua
tahun, atau tiga tahun? jika lebih dari empat tahun itu konyol namanya,
sedangkan aku kuliah saja empat tahun sudah lulus dan dapat ilmu sedemikian
banyaknya
Maaf, ada luka yang tertinggal di dadaku
karena kekerdilan kelelakianmu, kini aku berikan somasi; nikahi aku segera atau
kita putus, sebab aku malas menunggu lelaki yang tak punya pendirian.